UNTUK bisa melepas puteriku yang masih balita ke TK/PAUD orang Arab, ternyata perlu keberanian. Terhalang keraguan, khawatir yang berlebihan dan cinta yang – kadang – memanjakan.
SUATU siang di TK al Malik as Shagir Tunis, hampir setahun silam. Puteriku Kaira, yang baru berusia 3 tahun, meronta-ronta di pangkuan Rim, gurunya. Tangisnya pecah. Air matanya berderai.
“Ayo, A, pergi”, kata isteriku seraya menggandeng tanganku.
Benarkah kita akan meninggalkan anak kita di sini? Aku masih ragu.
“Ya, kita harus berani memulai”, jawabnya sambil menarik tanganku. Aku pun berjalan pelan. Langkah-langkah kaki terasa berat. Sedangkan isteriku terus berjalan, semakin jauh dari pintu sekolah.
Suara tangis Kaira terdengar makin keras. Hatiku luluh. Kelopak mataku terasa hangat. Aku terus berjalan dengan langkah yang semakin berat.
Aku tak mau membohongi hatiku. Aku belum bisa jauh dari anakku. Segera aku balik kanan. Kubuka kembali pintu sekolah. Puteriku kuraih dari tangan Rim. Kupeluk erat dan kubisikkan, aku tak mau jauh darimu, sayang. Aku merasa belum siap menitipkanmu ke gurumu. Kaira kubawa pulang.
***
Firyal Khaira Ahlami, puteriku yang lahir pada tanggal 18 April 2010 silam. April 2013, saat usianya genap 3 tahun, aku berniat menyekolahkannya, agar ia punya teman main. Agar ia bisa berinteraksi dengan anak-anak seusianya. Agar ia tidak bête tiap hari hanya main dengan ayah-bundanya di rumah.
Sempat Pak Jamal – bapak kost yang baik hati itu- menawarkan agar puteriku dititipkan di rumahnya. “Kalo kamu sibuk kuliah, titipkan saja sama isteri saya”, katanya. Aku menolak secara halus. Aku tetap akan menyekolahkannya, Pak, supaya ia memiliki teman sebaya. Supaya ia tumbuh bersama anak-anak seusianya.
Anak itu harus bermain dengan teman sebayanya, supaya ia tidak egois. Ketika bermain dengan ayah bundanya, ia sebenarnya sedang bermain dengan kepalsuan. Karena ayah bunda bukanlah pesaing sejati baginya. Ayah bundanya akan selalu mengalah dan berpura-pura. Kemenangan anak saat bermain-main dengan ayah atau ibunya, adalah kemenangan yang semu.
Sedangkan di sekolah, ia akan menang dengan sesungguhnya, sebagaimana ia juga akan mengalami kekalahan yang sesungguhnya, dari teman-temannya. Inilah proses pembentukan karakter yang alami, tanpa rekayasa. Biarkan warna warni kehidupan ia temukan secara wajar dalam kesehariannya.
***
Bersama isteri, aku pun keliling mengunjungi beberapa sekolahan TK di sekitar tempat tinggal kami di Makal Zaim, Tunis.
Mula-mula aku datang ke sebuah TK di belakang SMP Makal Zaim. Nurdin el Ayari, nama pengelolanya. Pria berusia setengah baya itu mengaku sebagai pensiunan kepala sekolah, yang kemudian mendirikan TK bersama isterinya.
Aku minta izin melihat-lihat ruangan kelasnya. Kok sepi? Mana anak-anaknya? Dari sela-sela jendela yang ditutup, aku intip salah satu ruangan kelasnya. Aku kira tidak ada orang. Ternyata ada sekitar 15 anak yang duduk berjajar di kursi panjang, sebagian menelungkupkan kepalanya ke meja. Sebagian lagi saling berbisik-bisik. Dari kelas sebelah, terdengar suara seorang wanita yang membentak-bentak. Suara itu menyuruh anak-anak tidur. Beberapa kali terdengar suara penggaris yang dipukul-pukulkan ke meja.
Semua jendela dan hordeng kelas ditutup. “Ini jam tidur siang”, kata Pak Nurdin. Kulirik jam tangan : pukul 14.00 siang. Okelah, mereka “harus” tidur. Tapi mengapa suasana itu harus dipaksakan, bahkan diancam dengan hardikan atau pukulan ke meja. Aku merasa, ini tidak humanis. Bukannya positif, malah menekan mental anak. Itu buktinya, anak-anak tadi terdiam bukan karena tidur, tapi takut.
Tuan Nurdin, model pengajaranmu tidak akan mencerdaskan! Aku jadi meragukan pengalamanmu sebagai mantan kepala sekolah ! Aku langsung pamit.
***
Keesokan harinya, aku dan isteriku mengunjungi sebuah TK yang berlokasi di belakang Masjid al Hawa, samping kampus Universitas Zitouna. Begitu pintu dibuka, bacaan murattal Al Quran yang diputar dari kaset terdengar nyaring. Guru-gurnya juga berjilbab. Wah ini Islami, pikirku. Aku optimis.
Seorang guru wanita menemui kami. Ia menjawab beberapa pertanyaan seperlunya. Malah terkesan kurang ramah dan jarang tersenyum. Lalu aku amati anak-anaknya, banyak yang hidungnya meler. Lehoan, kata orang Sunda mah. Tidak bersih. Beberapa lainnya bermata sayu.
Aku langsung ilfil. Ayo Neng, kita pulang, tuturku pada isteriku. Optimisme yang tadi sempat mencuat karena menduga ini sekolah yang “Islami”, seketika buyar.
***
Beberapa hari berikutnya, aku mengunjungi TK al Malik as Shagir itu. Jaraknya sekitar 500 meter dari kediamanku. Menuju ke sana, kami harus menyeberangi jalan raya dan menelusuri beberapa gang sempit di kawasan pemukiman tua.
Laporkan iklan?
Kaira langsung senang dengan suasana sekolah ini. Selain karena dinding-dinding sekolahnya rame dengan aneka gambar warna-warni, di pelataran tengah juga ada ayun-ayunan untuk anak. Oke deh, Kaira sekolah di sini saja. Terlebih tiga gurunya : Rim, Amira dan Sausan, juga ramah-ramah.
Aku dan isteri, bergiliran menemani Kaira di sekolah. Saat isteriku ada kuliah, aku yang antar Kaira, dan sebaliknya.
Hari demi hari berlalu. Anakku enjoy bermain dengan teman-temannya. Tapi ya itu : ia belum mau ditinggal. Aku harus ada di dekatnya, ikut bermain bersamanya. Atau kalaupaun berjauhan, aku harus tetap dalam posisi kelihatan olehnya.
Beberapa kali aku mencoba memberanikan diri pergi. Kaira kutinggalkan sendiri. Tentu saja ia nangis. Dalam kondisi itu, seharusnya aku kuat : berani tega sedikit. Lama-lama juga ia akan terbiasa dengan teman-temannya. Tapi aku selalu ‘kalah’, seperti dalam kisah di awal tulisan tadi.
Aku hanya berfikir, anak usia 3 tahun itu belum saatnya dilepas. Apalagi dititipkan ke orang lain yang tidak sebangsa dan setanah air.
***
September 2013, Masjid al Hawa membuka TK Al Quran. Lokasi belajarnya adalah sebuah gedung baru, tepat di pojok kiri Masjid. Dengan pertimbangan lebih dekat dari rumah, kami memindahkan Kaira ke sekolah ini.
Sekolah agama memang sedang jadi trend baru di Tunis. Sejumlah masjid membuka pengajian-pengajian dan madrasah-madrasah tahfidz. Termasuk juga TK/PAUD Islami, yang mengajarkan Al Quran.
Kurikulum di TK Al Hawa ini lebih variatif dibanding sekolah Malik Shagir tadi. Di sini, setiap hari ada pelajaran mengaji, membaca hadits Nabi, menulis huruf sederhana, mewarnai/menggambar, doa harian, dan hafalan surat-surat pendek. Tentu selain aneka permainan khas anak kecil. Lokasinya juga samping kampus tempat kami kuliah. Guru-gurunya : Aminah, Aman, dan Rifqah, juga nampak energik, dan nyantri.
Antara Oktober2013 hingga awal 2014, Kaira masih ditemani ibunya. Aku hanya sesekali saja. Lama-lama, gurunya bilang, mau sampai kapan anakmu ditemani? Kapan ia bisa mandiri? Aku jadi berfikir, kalo belum dimulai satu langkah pun, perubahan itu mustahil terjadi. Selamanya hanya mimpi.
Bismillah, awal Maret 2014, Kaira tak lagi ditemani ibunya. Isteriku hanya ngantar sampai pintu kelas, kemudian Kaira dipangku oleh Sati, panggilan singkat dari Anisati (sebutan untuk pengasuh anak di sekolah). Tentu Kaira nangis. Tapi kami berusaha tegar.
Aku biasa ikut mengantar, tapi tak sampai depan pintu sekolah. Aku tak tega mendengar suara tangisnya. Isteriku yang dengan setia mengantar ke pintu, menyerahkan Kaira pada gurunya, lalu berdiri di samping jendela, sekedar mengintip, untuk memastikan bahwa Kaira berhenti menangis. Aku hanya mengamatinya dari jauh. Jika tangis Kaira sudah benar-benar terhenti, barulah kami pergi.
Aku berkali-kali diskusi dengan isteri, apakah kita tidak terlalu memaksakan diri? Bukankah anak usia 4 tahun itu masih harus bersama ayah bundanya? Kata isteriku, kita harus bisa memulai. Toh anak-anak seusianya juga sudah sendiri di sekolah. “Allah yang akan menjaganya”, katanya meyakinkaku.
***
Hari-hari terus berlalu. Tanpa sepengetahuan isteriku, sesekali aku lewat ke depan sekolahan anakku, lalu mengintip dari jendela. Ia nampak begitu lucu. Ia sedang bermain dengan teman-temannya yang orang Arab. Aku ingin mengambilnya ! Tapi bathinku berbisik : tidak boleh! Biarkan ia bermain lepas dengan teman-teman sebayanya ! Biarkan ia menemukan dunianya !
Setiap hari, gurunya selalu melaporkan perkembangan anakku. Hari-hari pertama, Kaira menangis agak lama saat dilepas ibunya. Minggu kedua, frekuensi nangisnya berkurang. Dan awal April 2014 ini, Kaira tak pernah nangis lagi di sekolah. Begitu tiba di sekolah, ia langsung ceria dalam pangkuan sati-satinya. Ia juga bisa lumjah (ngemil) sendiri. Hanya sesekali disuapi gurunya. Di rumah, ia selalu semangat bercerita tentang teman-temannya.
Dan hari ini, adalah hari ulang tahunnya yang ke-4. Tadi pagi ia nampak semangat melangkahkan kakinya menuju sekolah. Alhamdulillah.
Selamat ulang tahun puteriku. Berjalanlah ke sekolahmu, ukirlah mimpi-mimpimu di sana. Duniamu ada di sana. Aku menitipkanmu pada guru-gurumu, karena aku mencintaimu.
Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu
Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri
Mereka terlahir melalui engkau, tapi bukan darimu
Meskipun mereka ada bersamamu, tapi mereka bukan milikmu
Pada mereka engkau dapat memberikan cintamu, tapi bukan pikiranmu
Karena mereka memiliki pikiran mereka sendiri
Engkau bisa merumahkan tubuh-tubuh, tapi bukan jiwa mereka,
Karena jiwa-jiwa itu tinggal di rumah hari esok, yang tak pernah dapat engkau kunjungi meskipun dalam mimpi
Engkau bisa menjadi seperti mereka, tapi jangan coba menjadikan mereka sepertimu
Karena hidup tidak berjalan mundur dan tidak pula berada di masa lalu
Engkau adalah busur-busur tempat anak-anakmu menjadi anak-anak panah yang hidup diluncurkan
Sambil meresapi makna dari bait-bait puisi Khalil Gibran di atas, aku merasakan kebanggaan menjadi seorang ayah. Selamat ulang tahun puteriku, 18 April 2010-18 April 2014.
Sumber : islampos.com