Jongga Siregar dan kawan-kawan (40 orang) yang berprofesi sebagai sopir Transjakarta tidak terima tindakan pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak yang dilakukan PT. Jakarta Mega Trans (PT. JMT).
Alhasil, para sopir Transjakarta ini melalui kuasa hukumnya mendaftarkan gugatan mengenai perselisihan PHK terhadap PT. JMT di Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (10/3).
“PT. JMT telah memperlakukan Klien kami dengan cara yang sewenang-wenang dan tidak mematuhi ketentuan hukum yang berlaku di bidang ketenagakerjaan Indonesia. Padahal sebagian besar Klien kami telah mengabdi sejak PT. JMT ini diberikan izin sebagai operator bus Transjakarta pada 2007 yang silam,” kata Haposan Sinaga, kuasa hukum para sopir.
“Klien kami mengajukan gugatan hanya karena merasa tidak aman dan nyaman lagi untuk terus bekerja sebagai pramudi bus Transjakarta yang dioperasikan PT. JMT sehingga upaya hukum ini dilakukan semata-mata untuk menuntut hak sebagaimana mestinya,” lanjut Haposan.
Perselisihan ini bermula karena keinginan sopir Transjakarta untuk bekerja dengan status hubungan kerja yang jelas. Juga bekerja dengan aman. Karena selama mengemudi bus, mereka tidak dilengkapi dengan STNK dan Buku KIR. Apalagi bus-bus yang mereka kemudikan kebanyakan tidak layak jalan. Alih-alih mendapatkan respon yang positif dari perusahaan, Jongga dan kawan-kawan malah di-PHK sepihak.
PT. JMT sendiri merupakan perusahaan konsorsium yang didirikan PT. Mayasari Bakti, Perum Pengakutan Djakarta (PPD), PT. Steady Safe, Tbk dan PT. Pahala Kencana sebagai operator bus Transjakarta di beberapa koridor. Salah satunya koridor VII Kampung Rambutan-Kampung Melayu.
Sumber : jpnn.com