DULU, saat masih gadis dan bekerja di sebuah toko, aku heran dengan teman kerjaku. Bagaimana ia mengatur uangnya, hingga bisa mencukupi biaya hidup sebulan?
Bukan hanya menghidupi dirinya sendiri. Ia sudah berkeluarga dan dikaruniai dua orang putra. Istrinya pun di rumah saja, tak bekerja.
Gaji yang diperoleh besarnya tak berbeda dengan yang kudapat. Aku yang masih sendiri saja, harus mengencangkan ikat pinggang bila inginkan sesuatu.
Rasa penasaran membuatku bertanya pada sahabat yang mengetahui tentang dirinya. Bagaimana caranya ia bisa punya rumah sendiri? Pertanyaan terlontar ketika kami, semua karyawan toko diajak olehnya, mampir ke rumah baru yang masih setengah jadi.
Menurut sahabatku, ia diberi bantuan pinjaman oleh majikan untuk membangun rumah. Namun bukankah hutang tetap harus dibayar? Kuyakin gajinya kena potongan setiap bulan.
Bila ingat itu, aku menertawakan diri sendiri. Betapa “kepo”nya aku saat itu. Terheran-heran … rejeki yang sama denganku, bisa menghidupi empat nyawa.
Dan setelah menikah, bingungku tak berubah. Bukan …, bukan bingung. Lebih tepatnya memang takjub dengan kebesaran Allah. Apalagi sejatinya rejeki tak hanya berupa materi.
Namun bila bicara soal materi, inilah yang kuceritakan. Suamiku hanya karyawan biasa dengan gaji yang pas-pasan. Sementara aku bukan lagi seorang pekerja. Rutinitasku setiap hari mengajar TPA dengan bayaran tak seberapa.
Dengan niat ingin mandiri, setahun menikah, suami mengajakku tak lagi huni “Perumahan Mertua Indah”. Masih kuingat, setelah akad pembayaran kontrak rumah, uang di dompet hanya tersisa seribu rupiah.
Tapi semenjak itu, kemurahanNya luas terbentang. Aku yang biasa mengajar mengaji, dipercaya memberikan les privat pelajaran sekolah, di beberapa tempat. Permintaan kerja sampingan suami pun semakin padat.
Belum lagi berjualan apa saja disesuaikan dengan musim dan modal yang ada. Alhamdulillah … Allah lancarkan. Entah keberanian dari mana … selanjutnya aku daftar kuliah. Bagiku jika Allah ijinkan, Insya Allah terlaksana.
Tak melulu bahagia memang. Ada tantangan, hambatan maupun rasa lelah lebih dari biasa. Tapi yang tak dapat kupungkiri, rejeki dariNya begitu nyata, mengalir dengan indahnya. Bak aliran air sungai jernih di antara bebatuan.
Bagiku terasa beda rejeki sebelum dan sesudah menikah. Kemudahan pun tetap berjalan sesuai fitrah. Bukan tiba-tiba muncul sekarung uang atau emas permata di atas meja.
Campur tanganNya dapat kurasa. Allah bukakan pintu rejeki yang sebelumnya tak terpikirkan. Berikan keberanian dalam memutuskan. Luaskan cara pandang. Dimana satu sama lain saling berhubungan.
Begitulah aku percaya, rejeki setelah menikah menjadi mudah. Aku berharap semoga menjadi berkah.
Seperti yang disampaikan Allah dalam firmanNya: “Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan, jika mereka miskin maka Allah akan menjadikannya kaya dari kurniaNya karena Allah itu adalah Maha Luas PemberianNya lagi Maha Mengetahui” (Q.S.An Nur : 32).
Sumber : islampos.com