Pencucian Benda Yang Terkena Babi, Harus Dengan Tanah?



Sebagaimana yang kita ketahui, proses produksi sebagian kecil vaksin (seperti vaksin polio, vaksin rotavirus, vaksin rabies, dan vaksin varicella), bersinggungan dengan bahan-bahan yang bersumber dari babi. Akan tetapi, bahan-bahan tersebut telah dimurnikan dan dihilangkan, sehingga tidak ditemukan lagi dalam produk akhir vaksin1. Jika masih ada, berarti produk tersebut adalah produk gagal yang tidak boleh diedarkan. Dan telah kita ketahui pula, para ulama telah menjelaskan status vaksin-vaksin tersebut adalah mubah alias halal2.

Namun, sebagian orang masih ragu dengan status halal vaksin tersebut karena mereka menilai bahwa proses pencucian najis babi harus dicampur dengan debu (tanah). Sehingga mereka menilai bahwa proses pencucian najis babi di perusahaan vaksin tidak (belum) sesuai dengan syariat Islam.

Perlu diketahui, sebagian kecil ulama memang berpendapat bahwa najis babi di-qiyas-kan dengan najis air liur anjing, sehingga harus dicuci sebanyak tujuh kali dan salah satunya dicampur dengan tanah (debu). Adapun mayoritas (jumhur) ulama berpendapat bahwa najis babi tidaklah disamakan dengan najis air liur anjing.

Berkaitan dengan najis air liur anjing, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

طَهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ، أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ

“Sucinya wadah air seseorang di antara kalian jika dijilat anjing adalah dengan dicuci sebanyak tujuh kali, permulaannya dicampur dengan tanah.” (HR. Muslim no. 279)

Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah An-Nawawi rahimahullah, salah satu ulama besar madzhab Asy-Syafi’i. Dan pendapat ini adalah pendapat resmi dalam madzhab Asy-Syafi’i. Beliau rahimahullah menyatakan,

وَمَا نَجُسَ بِمُلَاقَاةِ شَيْءٍ مِنْ كَلْبٍ غُسِلَ سَبْعًا إحْدَاهُنَّ بِتُرَابٍ وَالْأَظْهَرُ تَعَيُّنُ التُّرَابِ، وَ أَنَّ الْخِنْزِيرَ كَكَلْبٍ.

“Sesuatu yang menjadi najis karena terkena bagian dari anjing, maka dicuci sebanyak tujuh kali, salah satunya dengan tanah. Yang tampak, harus dengan tanah (tidak boleh diganti dengan yang lain). Dan babi sama seperti anjing” 3.

Akan tetapi, qiyas semacam ini bertentangan dengan hadits Abu Tsa’labah Al-Khusyaniradhiyallahu ‘anhu, ketika beliau bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamtentang bolehnya menggunakan wadah (panci) bekas memasak babi milik ahli kitab. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

فَإِنْ وَجَدْتُمْ غَيْرَهَا فَلاَ تَأْكُلُوا فِيهَا، وَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فَاغْسِلُوهَا وَكُلُوا فِيهَا

“Jika Engkau mendapatkan wadah lainnya, jangan makan menggunakan wadah tersebut. Jika Engkau tidak mendapatkan yang lainnya, maka cucilah wadah tersebut, dan makanlah dengan menggunakan wadah tersebut.” (HR. Bukhari no. 5478 dan Muslim no. 1930)

Berdasarkan hadits di atas, maka qiyas semacam ini sangat lemah dan tidak memiliki dasar yang kuat. Karena jika harus dicuci sebagaimana air liur anjing, tentu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskan kepada Abu Tsa’labah pada saat dia bertanya dan tidak menunda penjelasannya. Namun dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamhanya memerintahkan untuk mencuci sampai bersih, tanpa ada perintah secara spesifik untuk dicuci sebanyak tujuh kali dan salah satunya dicampur dengan debu (tanah).

Ketika menanggapi para ulama yang menyamakan najis kulit babi dengan air liur anjing, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,

وهذا قياس ضعيف ؛ لأن الخنزير مذكور في القرآن ، وموجود في عهد النبي صلى الله عليه وسلم ، ولم يرد إلحاقه بالكلب ، فالصحيح أن نجاسته كنجاسة غيره ، لا يغسل سبع مرات إحداها بالتراب

“(Menyamakan kulit babi dengan air liur anjing) adalah qiyas (analogi) yang lemah. Karena babi telah disebutkan dalam Al-Quran dan sudah ada di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun tidak terdapat keterangan yang menyamakan babi dengan anjing. Oleh karena itu, yang tepat, status najis babi adalah sama dengan benda najis lainnya. Tidak perlu dicuci sampai tujuh kali dan salah satunya dicampur dengan tanah” 4.

Syaikh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan berkata ketika menjelaskan hadits tentang tata cara membersihkan najis air liur anjing di atas,”Berbilangnya pencucian (sampai tujuh kali) hanya khusus untuk najis anjing dan tidak bisa di-qiyas-kan dengan najis lainnya, seperti babi. Karena ibadah bersifat tauqifiyyah (berdasarkan dalil dari Al-Qur’an atau As-Sunnah). Ini adalah masalah yang tidak bisa dijangkau oleh akal dan qiyas. Tidak terdapat keterangan pada selain najis anjing, berbilangnya proses pencucian. Babi telah disebutkan di dalam Al-Qur’an dan sudah ada di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun tidak terdapat keterangan yang menyamakannya (dengan anjing). Oleh karena itu, status najis babi adalah sama seperti najis lainnya.

Adapun najis lainnya (selain anjing), maka yang wajib adalah dicuci sekali yang menghilangkan dzat najis dan bekasnya. Jika belum hilang, maka bisa diulangi, sampai hilang bekasnya, meskipun sampai lebih dari tujuh kali. Baik yang dicuci tersebut adalah tanah, pakaian, alas tidur, dan wadah. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas ulama). Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا أَصَابَ ثَوْبَ إِحْدَاكُنَّ الدَّمُ مِنَ الحَيْضَةِ فَلْتَقْرُصْهُ، ثُمَّ لِتَنْضَحْهُ بِمَاءٍ، ثُمَّ لِتُصَلِّي فِيهِ

‘Jika (pakaian) salah seorang di antara kalian terkena darah haid, maka percikilah dengan air, lalu dicuci, setelah itu silakan gunakan untuk shalat.’ (HR. Bukhari no. 277 dan Muslim no. 291).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan untuk dicuci dengan bilangan tertentu. Jika beliau menghendakinya, tentu akan beliau sebutkan sebagaimana dalam hadits air liur anjing. Karena tujuannya adalah hilangnya najis, maka jika najis hilang, hilang pula status (hukum) najisnya” 5.

Kesimpulan dalam masalah ini:


Membersihkan najis karena babi cukup dicuci sekali sampai bersih. Tidak ada ketentuan dicuci sebanyak bilangan tertentu. Jika najisnya hilang, maka sudah cukup. Ini adalah pendapat mayoritas (jumhur) ulama dan inilah pendapat yang lebih kuat (rajih).


Sebagian kecil ulama, di antara para ulama madzhab Asy-Syafi’i, menyamakan cara membersihkan babi dengan air liur anjing, yaitu dicuci sebanyak tujuh kali dan salah satunya dicampur tanah. Pendapat (qiyas) ini lemah dan bertentangan dengan hadits shahih yang diriwayatkan dari Abu Tsa’labah Al-Khusyani radhiyallahu ‘anhu.


Oleh karena itu, proses pencucian najis babi dalam proses produksi vaksin sudah sesuai dengan petunjuk syariat. Sehingga tidak bisa dijadikan sebagai alasan untuk mengatakan bahwa vaksin (tertentu) adalah benda najis yang haram dikonsumsi.Wallahu Ta’ala a’lam.

Sumber : muslim.or.id

Subscribe to receive free email updates: